By Victoria Doumana
Sudah lama kunantikan hari ini, bersanding dengan lelaki yang telah meminangku
disebuah acara makan malam di restauran favorit
kami yang terletak tepat di tepi pantai dengan diterangi cahaya bulan
purnama dan lilin, ia menyelipkan sebuah cincin berlian didalam gelas wine yang
akan kuminum, untungnya mataku menangkap kilauan berlian di cincin itu sebelum
kuteguk. Tidak lucu bukan, jika lamaran itu malah mendatangkan ambulan karena
yang dipinang tersedak cincin.
Lelaki yang akan meresmikan hubungannya denganku ini, yang pertama kali
memperkenalkan diriku dengan debur ombak dan pasir putih Bali. Tempat dimana
dunia internasional awalnya mengenal Indonesia tanpa tahu bahwa Bali itu hanya
salah satu dari sekian banyak pulau yang ada di Indonesia.
Kembali saat malam itu, dimana Lelakiku menawarkan cintanya, meminta untuk
mengikat hubungan yang telah kami jalani bersama selama kurang lebih tiga tahun
ke tingkat yang boleh dibilang ’serius’ dengan berkata, ”Maukah kamu Deana
Sanudewi, menerima cincin yang kamu temukan di dasar gelasmu itu untuk menjadi
pasangan hidupku?”
Kujawab,” Hanya sebagai pasangan hidup?” Lalu ia menjawab,” Yah, menikahlah
denganku! Kamu
tahu aku tak biasa basa-basi dan menyusun kata-kata mutiara.” Ujarnya memperlihatkan
kegugupannya dalam meminang seorang gadis untuk menjadi istrinya.
”Bolehkah aku meminta waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu?” Itulah
jawabanku malam itu.
”Mengapa?” Tanyanya keheranan, terkejut karena ia sangat yakin aku akan
menjawab ’ya’ saat itu juga. Tetapi bagiku keputusan menikah tak bisa langsung
dijawab walau sebenarnya hatiku berdegup kencang dan ingin sekali langsung
mengatakan ’ya’ padanya.
”Kalau kamu benar-benar cinta, kamu juga bisa bersabar menungguku untuk
memberikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang baru saja kamu
tanyakan?” Jawabku penuh diplomasi.
”Benar juga sih, baiklah. Kutunggu jawabannya, walau terus terang aku ingin
kamu segera menjawab ’ya’, aku pikir ini yang kamu inginkan dari tujuan kita
berhubungan.” ujarnya terus terang.
”Memang aku ingin sebuah kejelasan dari hubungan kita pada akhirnya, tetapi
dengan berat hati aku juga ingin benar-benar yakin akan pilihanku bukan hanya
terpengaruh akan suasana romantis saat ini.” Masih menunda jawabanku, karena
kupikir aku butuh waktu untuk mempertimbangkannya.
”Baiklah, tak ada gunanya juga aku memaksamu untuk segera menjawab, mari
kita nikmati makan malam ini!” Ia memilih untuk tidak merusak suasana dengan
tidak membahas dan memaksaku memberikan jawaban atas pertanyaannya tadi.
Kami menikmati malam itu dengan salah satu makanan favorit kami, bebek
bengil. Makanan yang selalu membuat kangen Bali, walau sekarang bisa juga
ditemukan di kota lain tapi tak pernah bisa menandingi kenikmatan rasa bebek
bengil yang di Bali, entah karena suasana tempat makannya atau memang orang
yang membuatnya walau demi memakannya kedua tangan ini harus ikut kotor, tak
pernah nikmat kalau dengan sendok dan garpu sesuai dengan namanya ’bengil’ yang
berarti kotor.
Aku telah menyiksa lelaki itu dengan membuatnya menunggu dan bertanya-tanya
akan jawaban atas pinangannya itu selama liburan kami di area The Bay Bali,
Nusa Dua.
Lelaki yang sedang menunggu jawaban dariku itu bernama Leon Strati. Lelaki
yang suka pantai dan cinta olahraga air yang tak pernah berhenti memperlihatkan
cintanya kepadaku selama tiga tahun terakhir ini.
Bukan aku tak ingin menikah dengannya, tetapi tanggung jawabku atas
cintanya jika ia menikah denganku, wanita yang telah divonis kanker stadium
akhir yang kemungkinan hanya hidup beberapa bulan atau maksimal satu tahun
saja.
Jika lamaran itu terjadi saat aku sehat, mungkin aku akan langsung
mengiyakan ajakan nikahnya. Tetapi ini seminggu sejak aku tahu aku memiliki sel
kanker yang aktif dalam tubuhku dan itu sudah menjalar ke seluruh tubuhku yang
kesempatan untuk sembuh sangat kecil, terkecuali Tuhan mengirimkan mujizat
bagiku.
Liburan kami saat itu memang sudah direncanakan jauh hari sebelum kutahu
mengidap penyakit yang mengancam nyawaku, tetapi dokter menganjurkan aku untuk
tetap pergi berlibur dan menikmati liburan dan kalau memungkinkan menyusun ’The bucket lists’ daftar hal-hal yang
ingin dilakukan sebelum penyakit itu merenggut nyawaku.
My bucket
list:
-
Punya rumah di tepi pantai (kalau bisa di Bali)
-
Menikah dengan lelaki yang mencintaiku
Sebenarnya masih banyak tetapi kurasa itu yang mungkin bisa terwujud dengan
cepat, kecuali memiliki rumah tepat di tepi pantai dan menikah. Pasalnya
keuanganku tak memungkinkan untuk membeli rumah di tepi pantai, terlebih di
Bali yang harga property sudah mulai melonjak. Untuk menikah, memang ada lelaki
yang mencintaiku tetapi jika tahu aku penyakitan akankah ia masih mau
menikahiku, itu yang menjadi keraguanku.
Liburan kami di Bali memang sepuluh hari dan ini adalah hari ketiga sejak malam
malam pertama yang mendatangkan proposal pernikahan itu. Beberapa kali Leon
kerap menyinggung masalah jawaban atas pinangannya dan aku masih belum
memberikan jawaban yang pasti.
Sulit untuk memberitahukannya, sulit juga untuk memulai cerita karena takut
merusak suasana liburan ini. Ragu tepatnya, takut merusak suasana walau sebenarnya
sejak proposal pernikahan itu suasana hatiku tak bisa lagi menikmati liburan
yang kami rencanakan ini karena telah menumbuhkan kekhawatiran di hati kami
berdua, khawatir jika ia meninggalkanku dan dirinya pun khawatir jika aku tidak
menerima lamarannya walau bisa disimpulkan kami berdua khawatir akan
penolakkan.
Sampai akhirnya di akhir liburan aku berterus terang juga akan alasanku
menunda menjawab proposal pernikahan dari Leon.
”Ini malam terakhir kita, apakah kamu masih butuh waktu untuk menjawab
lamaranku?”
”Aku sudah ingin menjawabnya Leon, sejak kamu mencetuskan pertanyaan itu.”
”Dan...?”
”Sebelumnya aku ingin kamu mendengar penjelasanku, setelahnya baru kamu putuskan apakah tetap menginginkan
aku menikahimu atau tidak.”
”Memangnya kenapa?”
”Aku... ” aku masih ragu untuk mengatakannya,”Aku sakit Leon. Hidupku
mungkin tak lama lagi, jadi lebih baik...” Ia langsung menutup bibirku yang
berniat melanjutkan kalimatku.
”Aku yang memutuskan ingin menikah denganku, tanpa syarat! Bagaimana pun
keadaanmu sekarang ini.” Ia langsung menggenggam tanganku.
”Tetapi aku tak ingin menyusahkanmu nantinya! Aku pengidap kanker, jika menjalani
kemoteraphy tubuhku akan lemah dan selalu membutuhkan seseorang untuk merawatku
antara akan mengalahkan penyakit atau pun kehilangan nyawa atasnya.” Jelasku
memberikan argumen.
”Aku mencintaimu Dea, bahagia itu adalah bisa menikmati hidupku bersama
orang yang kukasihi sesingkat apa pun, yang penting aku bisa membahagiakannya
saat bersamaku.”
Aku menitikkan air mata saat itu mendengar jawabannya dan berkata, ”Leon
Strati, aku mau menikah denganmu.”
Kami berpelukan di malam terakhir liburan kami dan aku pun akhirnya
mengenakan cincin yang kutemukan didasar gelas wine-ku.
...
Together
With Their Parents, Is With Great Pleasure That
Leon and Deana
Invite
You to Celebrate Their Wedding
On
Saturday 29th March 2014, 6:30 PM (Bali
Time)
At
The Oceanfront Culinary Experience and Fun Beach
Activities
BTDC
Area, Lot C-0, Nusa Dua – Bali ,
Indonesia
The
Bay Bali
Followed
By Great Food, Wine and Dancing
From
8.30 PM (Bali Time) At Hong Xing, Club &
Resto
Undangan simpel tercetak dengan tinta emas dan kertas berwarna ungu
bertekstur linen dengan amplop berwarna sama hanya berbeda gramasinya.
Lamaran itu tiga bulan yang lalu, hari ini menjelang matahari terbenam aku
menunggu di kamar honeymoon sweet
hotel tempat aku mengenakan gaun pengantin dan rias wajahku,
menunggu dijemput ayah untuk mengantarkan diriku ke pelaminan, menyerahkan
diriku kepada Leon.
Pernikahan kami tak jauh dari tempat ia melamar, dinaungi langit biru dan
dialasi pasir pantai. Yang perjalanan menuju pelaminan ditaburi bunga menghiasi
hari yang akan memulai kehidupan kami berdua sebagai suami istri.
Hanya disaksikan kedua keluarga dan beberapa sahabat dekat, kami
melangsungkan pernikahan dan mengucap janji, berjanji akan sehidup semati
sampai maut memisahkan. Walau janji itu adalah luapan cinta kasih kami tetapi
tak ayal kami menitikkan air mata bahkan seluruh undangan yang hadi r.
Terlintas aku akan kehilangan seluruh rambutku dan Leon harus menggendong tubuhku
untuk pergi ke kamar mandi saat ku lemah bahkan mungkin harus memandikan dan
menyuapiku untuk makan dan rentetan kejadian yang akan menyusahkannya karena
harus merawat istrinya menjelang hari-hari terakhir tetapi aku akan sangat
bahagia karena dicintai dan diterima dalam keadaan apapun walau itu tak adil
bagi Leon.
Tetapi rupanya Tuhan tak ingin bayangan tadi menimpa Leon, lelaki baik yang
tulus mencintaiku. Ketika pesta berakhir kami kembali ke kamar honeymoon sweet tempat aku berdandan
tadi dan mendapati ponselku yang telah menerima 5 kali misscall dari nomor Jakarta dan sebuah sms bertuliskan;
Maafkan suster kami,
hasil labnya tertukar
dengan Nyonya Indriani.
Anda tidak mengidap kanker,
sekali lagi maaf.
Dokter Indra