Friday, March 28, 2014

DIAGNOSIS


By Victoria Doumana

Sudah lama kunantikan hari ini, bersanding dengan lelaki yang telah meminangku disebuah acara makan malam di restauran favorit  kami yang terletak tepat di tepi pantai dengan diterangi cahaya bulan purnama dan lilin, ia menyelipkan sebuah cincin berlian didalam gelas wine yang akan kuminum, untungnya mataku menangkap kilauan berlian di cincin itu sebelum kuteguk. Tidak lucu bukan, jika lamaran itu malah mendatangkan ambulan karena yang dipinang tersedak cincin.

Lelaki yang akan meresmikan hubungannya denganku ini, yang pertama kali memperkenalkan diriku dengan debur ombak dan pasir putih Bali. Tempat dimana dunia internasional awalnya mengenal Indonesia tanpa tahu bahwa Bali itu hanya salah satu dari sekian banyak pulau yang ada di Indonesia.

Kembali saat malam itu, dimana Lelakiku menawarkan cintanya, meminta untuk mengikat hubungan yang telah kami jalani bersama selama kurang lebih tiga tahun ke tingkat yang boleh dibilang ’serius’ dengan berkata, ”Maukah kamu Deana Sanudewi, menerima cincin yang kamu temukan di dasar gelasmu itu untuk menjadi pasangan hidupku?”

Kujawab,” Hanya sebagai pasangan hidup?” Lalu ia menjawab,” Yah, menikahlah denganku! Kamu tahu aku tak biasa basa-basi dan menyusun kata-kata mutiara.” Ujarnya memperlihatkan kegugupannya dalam meminang seorang gadis untuk menjadi istrinya.

”Bolehkah aku meminta waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu?” Itulah jawabanku malam itu.

”Mengapa?” Tanyanya keheranan, terkejut karena ia sangat yakin aku akan menjawab ’ya’ saat itu juga. Tetapi bagiku keputusan menikah tak bisa langsung dijawab walau sebenarnya hatiku berdegup kencang dan ingin sekali langsung mengatakan ’ya’ padanya.

”Kalau kamu benar-benar cinta, kamu juga bisa bersabar menungguku untuk memberikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang baru saja kamu tanyakan?”  Jawabku penuh diplomasi.

”Benar juga sih, baiklah. Kutunggu jawabannya, walau terus terang aku ingin kamu segera menjawab ’ya’, aku pikir ini yang kamu inginkan dari tujuan kita berhubungan.” ujarnya terus terang.

”Memang aku ingin sebuah kejelasan dari hubungan kita pada akhirnya, tetapi dengan berat hati aku juga ingin benar-benar yakin akan pilihanku bukan hanya terpengaruh akan suasana romantis saat ini.” Masih menunda jawabanku, karena kupikir aku butuh waktu untuk mempertimbangkannya.

”Baiklah, tak ada gunanya juga aku memaksamu untuk segera menjawab, mari kita nikmati makan malam ini!” Ia memilih untuk tidak merusak suasana dengan tidak membahas dan memaksaku memberikan jawaban atas pertanyaannya tadi.

Kami menikmati malam itu dengan salah satu makanan favorit kami, bebek bengil. Makanan yang selalu membuat kangen Bali, walau sekarang bisa juga ditemukan di kota lain tapi tak pernah bisa menandingi kenikmatan rasa bebek bengil yang di Bali, entah karena suasana tempat makannya atau memang orang yang membuatnya walau demi memakannya kedua tangan ini harus ikut kotor, tak pernah nikmat kalau dengan sendok dan garpu sesuai dengan namanya ’bengil’ yang berarti kotor.

Aku telah menyiksa lelaki itu dengan membuatnya menunggu dan bertanya-tanya akan jawaban atas pinangannya itu selama liburan kami di area The Bay Bali, Nusa Dua.

Lelaki yang sedang menunggu jawaban dariku itu bernama Leon Strati. Lelaki yang suka pantai dan cinta olahraga air yang tak pernah berhenti memperlihatkan cintanya kepadaku selama tiga tahun terakhir ini.

Bukan aku tak ingin menikah dengannya, tetapi tanggung jawabku atas cintanya jika ia menikah denganku, wanita yang telah divonis kanker stadium akhir yang kemungkinan hanya hidup beberapa bulan atau maksimal satu tahun saja.

Jika lamaran itu terjadi saat aku sehat, mungkin aku akan langsung mengiyakan ajakan nikahnya. Tetapi ini seminggu sejak aku tahu aku memiliki sel kanker yang aktif dalam tubuhku dan itu sudah menjalar ke seluruh tubuhku yang kesempatan untuk sembuh sangat kecil, terkecuali Tuhan mengirimkan mujizat bagiku.

Liburan kami saat itu memang sudah direncanakan jauh hari sebelum kutahu mengidap penyakit yang mengancam nyawaku, tetapi dokter menganjurkan aku untuk tetap pergi berlibur dan menikmati liburan dan kalau memungkinkan menyusun ’The bucket lists’ daftar hal-hal yang ingin dilakukan sebelum penyakit itu merenggut nyawaku.

My bucket list:
-          Makan Bebek Bengil
-          Makan Nasi Campur Bali
-          Bermain olahraga air, jetski, banana boat, etc
-          Berjemur di pantai setiap hari
-          Membuat istana pasir
-          Punya rumah di tepi pantai (kalau bisa di Bali)
-          Menikah dengan lelaki yang mencintaiku

Sebenarnya masih banyak tetapi kurasa itu yang mungkin bisa terwujud dengan cepat, kecuali memiliki rumah tepat di tepi pantai dan menikah. Pasalnya keuanganku tak memungkinkan untuk membeli rumah di tepi pantai, terlebih di Bali yang harga property sudah mulai melonjak. Untuk menikah, memang ada lelaki yang mencintaiku tetapi jika tahu aku penyakitan akankah ia masih mau menikahiku, itu yang menjadi keraguanku.

Liburan kami di Bali memang sepuluh hari dan ini adalah hari ketiga sejak malam malam pertama yang mendatangkan proposal pernikahan itu. Beberapa kali Leon kerap menyinggung masalah jawaban atas pinangannya dan aku masih belum memberikan jawaban yang pasti.

Sulit untuk memberitahukannya, sulit juga untuk memulai cerita karena takut merusak suasana liburan ini. Ragu tepatnya, takut merusak suasana walau sebenarnya sejak proposal pernikahan itu suasana hatiku tak bisa lagi menikmati liburan yang kami rencanakan ini karena telah menumbuhkan kekhawatiran di hati kami berdua, khawatir jika ia meninggalkanku dan dirinya pun khawatir jika aku tidak menerima lamarannya walau bisa disimpulkan kami berdua khawatir akan penolakkan.

Sampai akhirnya di akhir liburan aku berterus terang juga akan alasanku menunda menjawab proposal pernikahan dari Leon.

”Ini malam terakhir kita, apakah kamu masih butuh waktu untuk menjawab lamaranku?”

”Aku sudah ingin menjawabnya Leon,  sejak kamu mencetuskan pertanyaan itu.”

”Dan...?”

”Sebelumnya aku ingin kamu mendengar penjelasanku,  setelahnya baru kamu putuskan apakah tetap menginginkan aku menikahimu atau tidak.”

”Memangnya kenapa?”

”Aku... ” aku masih ragu untuk mengatakannya,”Aku sakit Leon. Hidupku mungkin tak lama lagi, jadi lebih baik...” Ia langsung menutup bibirku yang berniat melanjutkan kalimatku.

”Aku yang memutuskan ingin menikah denganku, tanpa syarat! Bagaimana pun keadaanmu sekarang ini.” Ia langsung menggenggam tanganku.

”Tetapi aku tak ingin menyusahkanmu nantinya! Aku pengidap kanker, jika menjalani kemoteraphy tubuhku akan lemah dan selalu membutuhkan seseorang untuk merawatku antara akan mengalahkan penyakit atau pun kehilangan nyawa atasnya.” Jelasku memberikan argumen.

”Aku mencintaimu Dea, bahagia itu adalah bisa menikmati hidupku bersama orang yang kukasihi sesingkat apa pun, yang penting aku bisa membahagiakannya saat bersamaku.”

Aku menitikkan air mata saat itu mendengar jawabannya dan berkata, ”Leon Strati, aku mau menikah denganmu.”

Kami berpelukan di malam terakhir liburan kami dan aku pun akhirnya mengenakan cincin yang kutemukan didasar gelas wine-ku.

...


Together With Their Parents, Is With Great Pleasure That

Leon and Deana

Invite You to Celebrate Their Wedding
On Saturday 29th March 2014, 6:30 PM (Bali Time)

At The Oceanfront Culinary Experience and Fun Beach Activities
BTDC Area, Lot C-0, Nusa Dua – Bali, Indonesia
The Bay Bali

Followed By Great Food, Wine and Dancing
From 8.30 PM (Bali Time) At Hong Xing, Club & Resto


Undangan simpel tercetak dengan tinta emas dan kertas berwarna ungu bertekstur linen dengan amplop berwarna sama hanya berbeda gramasinya.

Lamaran itu tiga bulan yang lalu, hari ini menjelang matahari terbenam aku menunggu di kamar honeymoon sweet hotel tempat aku mengenakan gaun pengantin dan rias wajahku,
menunggu dijemput ayah untuk mengantarkan diriku ke pelaminan, menyerahkan diriku kepada Leon.

Pernikahan kami tak jauh dari tempat ia melamar, dinaungi langit biru dan dialasi pasir pantai. Yang perjalanan menuju pelaminan ditaburi bunga menghiasi hari yang akan memulai kehidupan kami berdua sebagai suami istri.

Hanya disaksikan kedua keluarga dan beberapa sahabat dekat, kami melangsungkan pernikahan dan mengucap janji, berjanji akan sehidup semati sampai maut memisahkan. Walau janji itu adalah luapan cinta kasih kami tetapi tak ayal kami menitikkan air mata bahkan seluruh undangan yang hadir.

Terlintas aku akan kehilangan seluruh rambutku dan Leon harus menggendong tubuhku untuk pergi ke kamar mandi saat ku lemah bahkan mungkin harus memandikan dan menyuapiku untuk makan dan rentetan kejadian yang akan menyusahkannya karena harus merawat istrinya menjelang hari-hari terakhir tetapi aku akan sangat bahagia karena dicintai dan diterima dalam keadaan apapun walau itu tak adil bagi Leon.

Tetapi rupanya Tuhan tak ingin bayangan tadi menimpa Leon, lelaki baik yang tulus mencintaiku. Ketika pesta berakhir kami kembali ke kamar honeymoon sweet tempat aku berdandan tadi dan mendapati ponselku yang telah menerima 5 kali misscall dari nomor Jakarta dan sebuah sms bertuliskan;

Maafkan suster kami,
hasil labnya tertukar
dengan Nyonya Indriani.
Anda tidak mengidap kanker,
sekali lagi maaf.

Dokter Indra


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! www.thebaybali.com

4 comments: