Tuesday, August 16, 2016

Cerita Di Secangkir Kopi
oleh Vika Rahelia

Banyak cara menyajikan secangkir kopi tetapi, lagi-lagi bergantung dari pribadi dan karakter orang yang menikmatinya untuk dapat dibilang nikmat. Seperti kecantikan, kenikmatan kopi juga relatif walau ada beberapa kopi yang benar-benar nikmat bagi kebanyakan orang.

“With coffee we understand …”

Seperti diriku yang tak menyukai kopi berampas, akan tetapi lain halnya dengan kakakku yang hanya ingin minum kopi berampas atau kopi tubruk yang ampasnya mengendap dibawah.  Ia memang berawakan cukup keras dan pekerjaannya pun lebih banyak di lapangan sehingga ia memilih menjadi seorang insinyur ahli tambang. Sedangkan aku yang lebih lembut, seringnya berkutat di dapur meramu minuman sehingga aku terjun menekuni profesi barista pada akhirnya.

Setiap jenis biji kopi dan cara penyajiannya benar-benar mengesankan pribadi penikmat kopi itu. Makanya di setiap negara ada berbagai macam cara untuk menikmati kopi dan proses pembuatannya. Budaya kopi berasal dari negara timur tengah, akan tetapi yang mempopulerkannya adalah Itali. Padahal Itali itu bukan produsen kopi, hanya saja merekalah yang memiliki kreatifitas dalam mengolah kopi. Nama-nama menu kopi pun semua berasal dari bahasa Itali terkecuali kopi filter yang disebut French coffee, karena kepedulian mereka akan kesehatan, sehingga menemukan cara untuk mem-filter ampas kopi. Sedangkan Indonesia sendiri adalah produsen kopi terbesar di urutan keempat dunia.

"My first experienced with coffee…"

Pertama kali meminumnya, mata jadi melek seharian penuh, perut mulas, akibat kopi lampung yang diracik dengan air mendidih, dosis kopi sesendok makan penuh. Diaduk dengan gula hampir tiga sendok makan banyaknya. Maklum peminum kopi amatir, lebih banyak gula daripada kopinya.  Padahal kasiat kopi yang anti oksidan itu baru bisa dirasakan saat kopi tidak banyak tercampur dengan gula atau tanpa gula sama sekali.

Coffee is the new black, someone said.

Sekarang budaya ngopi menjadi trend bahkan profesi menjadi barista pun melejit dan kampus tempat mempelajari kopi pun berjamuran di mana-mana sekaligus promosi pemilik café.  Hanya saja profesi penyaji kopi lebih banyak diminati daripada petani kopi. Padahal, tanpa para petani sang barista tidak akan bisa memperoleh biji kopi terbaik.
Buatku yang sudah bukan peminum kopi amatir, kemampuan menanggulangi pahitnya kopi sudah tak diragukan lagi akan tetapi masih belum mampu menanggulangi pahitnya kehidupan ini. Masih saja sakit dan patah hati jika ditinggal kekasih. Hal itu pulalah yang mungkin mempengaruhi rasa racikan kopiku belakangan ini.
Baru saja aku selesai menyajikan secangkir cappuccino hangat, rekan kerjaku yang mengambil orderan mengembalikan cappuccino itu. “Kopinya gak enak katanya! Tidak seperti biasanya.”
“Kenapa? Padahal takarannya semua sama, suhunya juga.” Membela diri.
“Entah, coba lo minum sendiri deh!”
Kuminum sedikit kopi sajianku bekas hirupan pelanggan kopiku. “Hmmm… seperti kurang panas pada tekanan air di mesin espresso tadi.”  Tetapi aku yakin telah melakukan segala sesuatunya sesuai ritualku.
Akhirnya kubuat ulang dan tetap berhati-hati dan mengecek ulang seluruh proses agar tidak ada hal yang terlewatkan dari ritual pembuatan kopiku, terkecuali perasaanku yang sedang kacau ini. Setelah semua sesuai, aku tekan tombol pemanas dan penyembur uap panas untuk memasak bubuk kopi menjadi cairan espresso sebelum kucampurkan dengan susu dari mesin pembuat milk froth. Semua suhu dan tekanan telah pas, bahkan kusajikan dengan latte art seperti biasanya. Lalu kusodorkan kembali ke Gani, pelayan yang mengembalikan kopi buatanku tadi.
Tak lama Gani kembali dan berkomentar, “Mendingan, tetapi tetap tak seenak yang biasa dibuat barista di sini katanya.”
Bagaimana mungkin, dari awal café in berdiri sampai sekarang baristanya adalah diriku yang juga pemilik 30% saham  atas café ini. Aku jiwa dari keberlangsungan café ini sejak awal, penarik orang berdatangan ke tempat ini untuk mencicipi kopi buatanku. Aku barista lulusan terbaik di kampus kopiku.
Mungkin terdengar sombong, tetapi komentar atas sajian cappuccino itu membuat aku penasaran dengan si pemesan.
Lalu Gani menunjukkan siapa pemesan cappuccino tadi yang berkomentar seperti itu kepada kopi racikanku. Rambut panjang itu… aku kenal dengan sosoknya. Wanita itu yang pernah mengisi keseharianku, sang penggemar kopi buatanku bahkan terkesan fans berat. Ia selalu muncul saat café siap menyapa pelanggannya, tepat pukul  11.00 WIB dan memesan cappuccino.
Ia yang hilang telah kembali … tetapi ketika wanita itu membalikkan badan kearahku. “Bukan, bukan dia yang kumaksud. Hanya mirip.” Gumamku.
“Memang siapa yang lo maksud?” Tanya Gani penasaran.
“Bukan siapa-siapa.” Akhirku.
“Bukan siapa-siapa, kok gitu!”
Gani terlihat penasaran dan menunggu jawaban tetapi ia tak akan mendesakku jika aku tak berkenan bercerita lebih jauh. Tanpa jawaban apa pun dariku, Ia kembali melayani pelanggan café yang lain.
Ia yang kumaksud menghilang entah kemana, ia yang kumaksudkan tak kunjung kembali sejak peristiwa itu. Siapa yang kumaksud itu, seorang wanita yang pernah mengisi hariku dan selalu rajin menikmati kopi buatanku begitu ia tiba di café-ku.
Nama perempuan itu Ariadni, nama Yunani kuno. Perempuan asal kepulauan Crete, keturunan bangsawan yang setia menjadi asisten seorang putri di jaman penjajahan Romawi. Seperti kesetiaannya menikmati sajian kopiku menandakan dibukanya café ini.
 “Arya” itu panggilannya yang membuat resah diriku serta merta membuat kacau roh yang biasa menghidupi nikmatnya sajian kopi buatanku.
Ia menghilang demi berburu kopi ke Aceh dan Toraja. Ia sempat mengajakku, tetapi aku tak bisa meninggalkan café-ku ini.  Sejak aku menolak mengikutinya ia tak pernah lagi muncul di café beserta kehidupanku, menghilang tanpa jejak. Nyaris tak ada kabar.
“Sena, lo inget Ariadni kan? Gue ketemu Arya di airport mau ke Toraja, gila tuh cewek ngejar kopi sampai ke sana.” Ujar Teddy, suplier biji kopiku.
Dia memang ingin jadi petani kopi karena apa yang kuhidangkan itu berasal dari tangan petani ulung yang bisa menyediakan biji-biji kopi pilihan yang prima rasanya. Melebihi keulungan hewan luwak yang memiliki intuisi memilih biji kopi terbaik dari buahnya dan mesin alami yang bisa memproses biji kopi yang dimakannya untuk memperoleh aroma dan rasa yang khas yang menjadikannya sebagai kopi termahal di dunia.
Padahal dengan kepiawaiannya memproduksi biji kopi pilihan dan diriku sebagai baristanya kami berdua bisa menjadi partner yang sepadan dalam membangun kerajaan kopi bersama . Tetapi aku masih tak mengerti apa yang telah kuperbuat sehingga ia tak lagi mau mengisi kehidupanku.
Ia yang memutuskan tali silaturahmi bahkan nomor teleponnya pun tak bisa kuhubungi, “Nomor yang Anda tuju belum terdaftar, mohon periksa kembali …” itu suara yang menjawab nomor yang biasa kuhubungi untuk janjian di café dengannya.
Hanya Tuhan yang tahu kemana kopi membawa dirinya, memisahkan kami berdua. Aku hanya ingin kembali bertemu muka dan bertanya, “Apa salahku?”
“Aku memang tak bisa mengikuti perjalanan dan petualangannya berburu biji kopi terbaik serta bertani kopi karena aku memiliki tanggung jawab atas café-ku ini.” Tetapi aku tak pernah bilang putus atau menyuruh pergi selamanya dari hadapanku.
Sudah tiga bulan lamanya ia menghilang tak ada kabar. Baru Teddy yang mengabariku bahwa ia ada di Toraja.

“Kamu tahu biji kopi itu dipengaruhi oleh kadar mineral yang ada di dalam tanah yang menopang pohonnya.” Jelas Arya suatu hari, saat ia sedang menyusun skripsinya tentang pengembangan lahan kopi.
“Aku tahulah, tetapi itu bukan urusanku! Tugasku hanya menyajikannya supaya nikmat.”
“Tanpa kelihaian mereka, kopimu  tak akan senikmat ini.”
“Tapi kan aku tahu mana yang baik dan tidak, dari aroma biji kopinya saja sudah tercium apakah itu kopi nikmat atau tidak!” tukasku.
“Baiklah, aku akan berkeliling tempat penghasil kopi-kopi terbaik di Indonesia. Kamu mau ikut denganku?” Itu pertanyaan terakhirnya padaku sebelum menghilang.
“Aku belum bisa meninggalkan café ini, belum ada orang yang bisa menggantikan diriku untuk menjadi barista di sini.” Jelasku.
Lalu ia hanya tersenyum di malam itu, tak ada pembicaraan lanjutan hanya sebuah kecupan dan pelukan erat serta kosongnya cangkir kopi racikanku untuknya. Sejak itu tak pernah lagi aku menyediakan kopi untuknya. Aku rindu menyajikan kopi untuk Arya lagi.
Memang aku baru beberapa bulan mengenalnya dan belum mengenali  dirinya lebih jauh, siapa teman-temannya, terkecuali obrolan kopi dan cappuccino kesukaannya. ‘Double espresso, sesendok teh brown sugar, dan taburan cinnamon diatas milkfroth-nya.’ Serta nomor ponselnya. Tetapi aku tak bisa menghilangkan ingatan tentang dirinya dan keinginanku mencari tahu mengapa ia tak pernah memberi kabar lagi setelah malam itu.
Setidaknya aku tahu sekarang ia berada di Toraja, pikirku.
Sebulan setelah kabar itu, Teddy kembali datang mensupply persediaan kopiku. “Coba deh buat espresso dari kopi yang ini dan dari kopi yang biasa gue supply!”  pintanya tanpa basa-basi lagi.
“Memangnya ada kritikus kopi?” tanyaku sambil mengerjakan permintaannya.
“Belum jadi kritikus sih, tapi aku perlu membandingkannya.”
Kukondisikan semua sama, suhu, takaran bubuk kopi  dan kujalankan pada waktu yang bersamaan pula. Aroma kopi itu tidak seperti kopi dari Teddy. Tercium saat cairan kopi mengalir dari mesin , sampai aku pun tak tahan untuk mencobanya sebelum kuhidangkan untuk Teddy.
“Gila Ted, lo dapat kopi ini dari mana?” tanyaku langsung.
“Kenapa lo minum, buat gue mana?”
“Iyah, gue buat lagi nih!” kubuatkan ulang dan kembali aromanya memenuhi café.
“Nih, silahkan bandingkan!” selesainya kedua kopi tersaji di depan Teddy.
“Hmmm, bener nih si pakar tanah kopi! Diapain nih kopi sampai aromanya bisa seperti ini.”
“Gue mau juga donk kopi yang ini Ted, setengah dari  yang biasa gue order atau gue ganti semua aja dengan kopi ini!”
“Waduh, petani kopi ini langsung mengambil pangsa pasar gue.”
“Memangnya bukan kopi lo?”
“Bukanlah, beda petani yang ini.”
 “Ada banyak cerita dibalik secangkir kopi racikanmu dan itu bukan dari kelihaianmu mengolahnya…” terdengar sebuah suara yang begitu kurindukan.
“Tetapi dari kelihaian petani yang menanamnya.” Tambahku menyelesaikan kalimat itu.
Kopi itu dari Arya, dalam petualangannya ia bertemu dengan para petani yang menanam, merawat tanaman kopi karena kecintaan dan kepiawaiannya dalam mengolah biji-biji kopi pilihan. Ia pun sempat belajar menanam dan bertani kopi dari mereka. Kopi yang kubuat espresso tadi adalah kopi gayo dari Aceh dan masih banyak jenis kopi lain yang ia bawa dari hasil perjalanannya itu.
“Mengapa kamu menghilang dariku?” Langsung kutanyakan apa yang ingin kutanyakan selama ia menghilang.
“Aku kan sudah mengajakmu!”
“Iyah, tapi tak perlu mengganti nomor ponsel juga, kan?”
“Oh, itu! Aku juga lupa nomor ponselmu, karena ponselku sempat terendam lumpur dekat sawah dan semuanya rusak , keluargaku juga memarahiku karenanya.” Jelas Arya tersipu malu.
“Masuk akal juga penjelasanmu.”
“Kamu kangen?”
Pertanyaan Arya hanya kujawab dengan pelukan erat dan ciuman dariku yang mendarat di dahinya.
“Jadi ini, yang bukan siapa-siapa!” Sindir Gani menyodorkan pesanan kopi.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com