“G.I. Joe keluaran baru di sale?” Harry spontan langsung browsing setelah diberitahu teman sesama kolektor.
“Apaan sih Har?” Tanya Wendi, istrinya.
“Biasa, buat nambahin koleksi, Ma.” Jawabnya sambil mengedipkan mata.
”Pah, kok berhenti mainnya? Papa nggak asyik ahh!” Rengek Toby, anaknya yang baru berusia lima tahun.
”Sebentar yah sayang, Papa harus hunting robot G.I. Joe!” Jelas Harry.
“Papa, Toby masih mau main sama Papa.” Toby masih merengek sambil menarik-narik baju papanya.
“Toby main sama Mama aja ya?” Bujuk Wendi dan mengajak Toby keluar. “Kita ke taman, Gimana?”
Toby mengangguk dan mengekor di belakang ibunya. Dan Harry masih tenggelam dalam keasyikannya. Di awal usia 30 tahun itu ia masih saja tergila-gila pada mainan. Bahkan hingga lupa waktu dan mengabaikan waktu bermain dengan anaknya sendiri.
“Har, boneka koleksi kamu taruh yang bener nanti kalau dipakai main sama Toby, marah lagi?” Ujar Wendi menasihati karena melihatnya berserakan di lantai ruang kerja Harry.
”Iyah, bentar. Aku lagi cari-cari koleksi lamaku, ada yang mau beli lima juta loh!”
”Ah, bagus donk! Jadi bisa beliin sepeda buat Toby tuh!” Wendi memberi ide.
”Iyah, kalau ada lebihnya, mau diinvestasiin lagi cari G.I. JOE yang lain biar koleksinya lengkap.”
Selalu G.I. Joe didahulukannya. Wendi membawa Toby jalan-jalan ke mal sementara Harry masih sibuk mencari koleksinya yang harganya sedang melambung.
”Mah, Mama!” Panggil Toby.
”Ya Sayang, ada apa?” Tanya Wendi.
”Papa kenapa sih Ma, kok lebih sayang sama G.I. Joe daripada Toby?”
Wendi tersenyum kecut mendengar pertanyaan polos yang keluar dari mulut anaknya, “Papa sayang kok sama Toby, lebih sayang daripada G.I. Joe.”
“Tapi Papa lebih suka main bareng G.I. Joe daripada Toby.”
“Hm, Toby juga sayang kan sama mainan yang dikasih Papa, saat ulang tahun Toby waktu itu?”
“Iya,”
“Nah, sayangnya Papa ke G.I. Joe juga seperti itu.”
“Aaaa, Ma, Papa kapan ulang tahun? Toby mau buat Papa lebih sayang lebih dan lebih lagi.”
Wendi tertawa kecil saat melihat ekspresi Toby ketika kalimat itu meluncur dari mulut mungilnya.
“Kapan Ma?” rengek Toby.
Wendi belum mau menjawab. Ia suka melihat ekspresi Toby. Anak kesayangan mereka, yang sedang lucu-lucunya itu.
Wendi langsung memeluknya, ”Nanti yah kita bikin pesta ulangtahun kejutan buat Papa.”
”Bener ya Ma? Toby mau bikin kartu ucapan buat papa, kayak yang diajarin mama waktu itu, pake gambar G.I. Joe, bantuin ya Mah...!”
”Pasti donk, yuk kita beli kertas dan spidolnya.”
Seminggu kemudian, Harry berulang tahun. Wendi dan Toby sudah mempersiapkan pesta kejutan untuknya.
Toby menyiapkan kartu ucapan dan ingin menaruhnya di antara koleksi mainan sang ayah. Toby melihat beberapa mainan yang tidak beraturan. Tangan kecilnya mengambil mainan-mainan itu dan bermaksud menyusunnya. Tapi tangan itu tidak cukup membawa semua mainan itu dan tanpa sengaja menjatuhkan salah satunya. Tak lama Harry datang bersama seorang teman.
”Wendi, Mah!” Panggil Harry mencari istrinya.
“Ya, Har? Aku di dapur.”
Harry berjalan ke dapur...
”Sayang, tolong buatkan minuman untuk tamu di depan. Itu temanku yang mau membeli koleksi G.I. Joe lamaku, Ia berani bayar enam juta rupiah! Aku ke ruanganku dulu, nanti tolong temani ngobrol yah!”
”Beres, Bos!”
Begitu tiba di depan ruangannya,
“Toby!”
Toby kaget dan menjatuhkan G.I. Joe yang telah patah.
”Pah, maaf G.I. Joe-nya patah yang ini”
Karena kesal, tak sengaja Harry memukul dan mendorong Toby sambil mengambil G.I. Joe yang patah tersebut. Toby terlempar dan pingsan, dari kepalanya mengalir darah segar akibat terbentur meja lemari penyimpanan koleksinya itu.
”Mahhhh! Wendi!” Teriak Harry sangat keras memanggil istrinya.
Setengah berlari Wendi menuju ke ruangan tempat penyimpanan koleksi G.I. Joe.
"Ada apa? Apa yang kamu lakukan terhadap Toby? Cepat bawa ke rumah sakit!"
Akhirnya Toby dilarikan ke rumah sakit.
Harry berjalan mondar mandir di depan ruangan. Hatinya sedang kalut, pikirannya kacau. Yang ada dalam benaknya hanyalah Toby.
“Har?” Wendi menyentuh punda Harry pelan.
“Mah...” Harry merasa sangat bersalah. Selama ini tanpa sadar ia selalu menomor duakan anaknya. Dan kejadian hari ini membuktikan semua itu.
Harry takut Toby tidak lagi membuka matanya.
“Ini pelajaran mahal buat kamu, terkadang Toby itu jauh lebih dewasa dari kamu! Lihat apa yang dia buat untuk ulang tahunmu.”
Harry memegang kartu ucapan buatan Toby dengan gemetar…membukanya hati-hati dengan penuh penyesalan. Dia lihat gambar G.I. Joe buatan Toby, dan didalamnya ada gambar orang yang ditulisi Pa-pa agak tak jelas dan anak kecil yang ditengahnya diberi gambar hati.
“Dia selalu menantikan kasih sayangmu Har, dia selalu setia menunggumu pulang kantor supaya ia bisa menyambut dan membawakan tas kerja kamu. Ia selalu dan ingin selalu membahagiakanmu agar kamu lebih memperhatikan dirinya ketimbang koleksimu itu.”
“Maafkan aku Wen, aku hilap. Semua ini salahku karena G.I. Joe yang rusak adalah yang akan dibeli temanku itu.”
Tiba-tiba dokter datang, memberitahukan bahwa Toby sudah boleh dijenguk hanya saja ia belum siuman, Wendi dan Harry bergegas menemuinya.
Dengan rasa bersalah Harry memegang tangan anaknya itu, diusapnya halus akibat perbuatannya itu, ada enam jahitan di kepala Toby dan kemungkinan akan membekas seumur hidupnya.
”Toby, bangun nak! Ini Papa.” Ujar Harry dengan perasaan bersalah, ia menciumi tangan anaknya itu dan menangis.
”Maafkan Papa, nak! Bangunlah...” Wendi pun ikut bersuara demi melihat anaknya siuman.
Semalaman mereka menunggu dan tertidur di rumah sakit menunggu Toby.
Tiba-tiba Toby siuman, tanpa merasa dendam ia berkata, ”Selamat ulang tahun, Pah! Maafin Toby yah mainan Papa jadi rusak.”
”Oh Toby, Papa yang salah nak! Papa janji nggak akan main G.I. Joe lagi! Papa akan selalu bermain sama kamu.”
No comments:
Post a Comment