Friday, February 24, 2012

IMPIAN DI MAP BIRU Day 15 #20HariNulisDuet Bareng @Teguhpuja


Sebuah map biru tersimpan rapi di atas meja kerjaku. Belum sempat aku membukanya. Masih ada beberapa project lain yang pekan ini harus diselesaikan. Aku rasa, map biru itu masih bisa menunggu.

Tapi entah mengapa tergoda juga untuk mengintip isi map biru itu, akhirnya kubuka juga. Ternyata proyek membuat gedung tertinggi di Dubai.

Benar-benar mengejutkan. Aku tidak pernah menyangka akan ada map biru berisi proyek seperti ini mendatangi kantorku. "Sebuah tantangan baru!"

Mampukah aku? Aku meragukan kemampuan diriku sendiri tetapi tertantang sebagai seorang arsitek.

Dubai, sebuah proyek serius yang jika berhasil ditaklukkan akan menaikkan nama firmaku dan sejumlah proyek besar akan antri untuk kami kerjakan.

Aku tahu, ada sekian hal yang harus kusiapkan. Bukan saja konsentrasi penuh tetapi juga dukungan dari rekan-rekan kerjaku. Akan ada banyak sekali perbedaan pendapat yang muncul pada saat diskusi mengenai pengambilan proyek ini. Jika berhasil maka ini akan menjadi satu pencapaian terbesarku.

Kututup map biru itu dan kuminta semua orang yang memungkinkan untuk terlibat ikut mendiskusikan dalam rapat besok.

Esok hari semua berkumpul di ruangan rapat, satu persatu proyek yang sedang berjalan dibahas, sebelum akhirnya memasuki pembahasan proyek map biru.

”Baik, semua proyek yang sedang berjalan mohon diselesaikan tanpa mengurangi prioritas dan kualitas pelayanan firma kita. Ada satu lagi proyek baru yang menanti, apakah ingin dibahas sekarang?”

Beberapa orang menatapku ragu. Terlihat wajah-wajah keberatan menerima proyek baru.

"Bagaimana?"

Salah satu dari mereka akhirnya mengucapkan sesuatu. Sebuah penolakan kalau boleh kukatakan. "Kami rasa, kita belum sepenuhnya siap untuk proyek baru, Pak.”

"Apakah ada di antara kalian yang berpendapat sama?"

Beberapa akhirnya mengacungkan tangan dan meminta interupsi. Mata-mata yang ragu itu terlihat semakin jelas. "Masih ada proyek kita yang belum selesai, Pak. Saya takut proyek yang sudah ada sebelumnya, tidak selesai dengan maksimal. Bagaimana dengan kemungkinan itu Pak?"

”Segala kemungkinan itu ada, saya berfikir untuk mengajak firma dan perusahaan konstruksi besar lainnya dari beberapa negara demi terlaksananya proyek ini. Terus terang ini proyek impian, jika berhasil memenangkan tender proyek ini maka perusahaan kita bisa go public.”

”Jika berhasil, jika tidak? Bagaimana pengaturan tanggung jawabnya? Untuk memenangkan proyek ini kita butuh semua arsitek untuk terlibat memikirkannya tidak cukup hanya 1-2 orang arsitek saja. Sedangkan proyek yang sedang berjalan tetap harus diselesaikan dengan baik.”

Rekanku menyudutkan mengenai pembagian tugas, dan pastinya semua orang ingin terlibat dalam proyek impian, tetapi jika gagal memenangkan tender dan proyek lain terbengkalai nama firma dipertaruhkan.

"Maka dari itu saya meminta dukungan kalian semua. Saya tentu tidak bisa memutuskan segala sesuatunya sekehendak hati tanpa mempertimbangkan pendapat dari kalian."

Proyek ini sudah aku mimpikan sejak lama dan tidak pernah berpikir bahwa semua ini harus kulepaskan begitu saja tanpa berusaha memperjuangkannya.

"Saya rasa kita jangan serakah, pengalaman dengan tender sebelumnya, mengajarkan kita harus matang dalam membagi prioritas agar tidak terjadi ketimpangan."

"Saya tidak sedang meremehkan proyek yang sedang berjalan. Tetapi ini proyek besar, dan saya meminta kesedian anda semua untuk ikut merumuskan yang terbaik sebagai penyelesaiannya."

Aku menghela nafas, semua rekanku meragukan kesanggupan mengelola proyek ini dan dalam pikiranku hanya ada satu orang yang bisa kugandeng untuk mewujudkannya, hanya saja ia berada di salah satu firma kompetitor kami.

Tanpa memutuskan melepas proyek atau tidak, rapat kutangguhkan. Dalam hati ku bertekad untuk mencari jalan keluard demi impianku.

Kuambil ponsel yang kutinggalkan di atas meja kerjaku tadi. Kucari perlahan namanya, nama orang yang sanggup membantuku sekarang.

Degup jantungku berdetak lebih cepat sekarang. Ini sebuah keputusan yang penting dan aku tidak boleh salah melangkah. Haruskah aku tetap lanjutkan?

Aku ragu dan sekaligus takut dengan keputusan yang ingin kuambil.

Tetapi aku sangat menginginkannya, mewujudkan impianku lebih dari apa pun juga. Kuputuskan untuk meneleponnya, kudengar nada tunggu dari ponselnya, orang yang pernah berada di hatiku, yang berambisi sama tetapi berakhir menjadi rival.

Begitu diangkat aku mematikan ponselku, aku ragu berbicara dengannya. Tetapi ia malah berbalik menghubungiku, ponselku berdering dan nama Septi terlihat di ponselku, hingga dering yang terakhir baru kuangkat.

”Halo, apa kabar?” Tanyanya langsung.

”Maaf, salah tekan!” Jawabku seadanya.

Long time no heard from you?”

“Iyah, sorry. Busy.”

“Terlintas semalam untuk menghubungimu, tiba-tiba kamu meneleponku.”

“Oh ya, ada apa? “ Tanyaku penasaran.

Our dream project, Dubai!”

Deg, aku terkejut. Ternyata firmanya pun memperoleh tawaran proyek itu.

"Sebentar. Maksudmu apa? Kamu dapatkan proyek untuk membuat bangunan di Dubai?"

"Yup, tawarannya datang sekitar sepekan yang lalu. Aku mengambilnya langsung tanpa membicarakan ini dengan yang lain. Ini proyek besar dan aku harus ingin memperoleh tendernya sesegera mungkin."

"Wait!"

"Ya?"

You don't talk about this to your colleagues? I mean, how could you?"

"Terlalu banyak pertimbangan kadangkala tidak baik juga. Aku rasa harus ada seseorang yang berani mengambil keputusan dan aku punya wewenang untuk itu."

Aku terdiam mendengarnya. Terkadang ia ada benarnya.

“Hei, kamu masih disana? Kok diam sih? Lebih baik kita bicarakan sambil makan malam, bagaimana?” Tawarnya.

”Baiklah, kujemput pukul delapan malam?”

”Ok, kutunggu.”

Saat makan malam,
Aku memandanginya dan teringat satu hal yang membuat kami berbeda adalah prinsip hidup. Ia rela menghalalkan segala cara untuk sukses.

”Kamu masih suka makan dengan memotong-motong dagingnya terlebih dahulu dari pada memotong sedikit-sedikit sambil dimakan.”

You still remember?” Ujarnya sedikit terkejut.

Tentu saja aku mengingatnya, aku selalu memperhatikan hal-hal kecil yang dilakukannya. Proyek ini membawa kami kembali bersama.

Demi tender proyek ini, setiap hari, sepulang kerja, kami melemburkan bergantian antara di apartemenku dan apartemennya kami tidak memberitahukan siapapun, kami berniat merahasiakan sampai tender itu benar-benar ditangan kami.

Proposal akhirnya bisa diselesaikan sebelum tender dijatuhkan dan kami berkesempatan mempresentasikannya.

Tetapi tender tidak kami peroleh. Aku merelakannya, tetapi Septi tidak.

Beberapa minggu kemudian, Ia menelepon dan memberitahuku bahwa ia memperoleh tender itu.

How?” tanyaku.

You don’t need to know how I got it. You’re with me or not?

“Kamu melakukannya lagi, Iya kan?”

”Kali ini aku melakukannya untukmu dan impian kita.”

Kututup ponselku. Kuingat kembali apa yang mengakhiri hubungan kami, ia rela tidur dengan orang yang berwenang mengambil keputusan dalam memenangkan tender. Tak ada laki-laki yang tak tergoda dengan kecantikan dan kemolekkannya walaupun begitu ia tetaplah arsitek yang piawai.

Aku memang tidak pernah menyetujui caranya memperoleh tender tetapi demi impianku, kali ini aku memberikan pengecualian.  

No comments:

Post a Comment