Masih pagi, Lintang telah mengemasi buku dan beberapa helai pakaian yang sejak semalam telah ia persiapkan. Ya, kali ini Lintang akan mengunjungi Jogja, entahlah, di usianya yang ke-dua puluh, Lintang sangat penasaran dengan Benteng Vredeburg yang terletak di pusat kota kesultanan ini. Gadis tomboy yang tak pernah takut pergi sendirian ini, memang sangat menyukai sejarah, dan penuh rasa penasaran untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah, di tempat yang jauh sekalipun.
Dengan ransel di punggung, sepatu kets, serta syal yang mengalung di leher, Lintang siap menempuh perjalanan menyenangkan, Jakarta-Yogyakarta.
"Mam, Lintang berangkat dulu yah... hari minggu, Lintang udah balik ke Jakarta lagi kok," pamit Lintang kepada Mama, seraya mencium punggung tangan Mama dan mengecup pipi Mama, dengan manja.
"Hati-hati, nggak usah mampir-mampir ke tempat yang aneh-aneh loh ya..." pesan Mama.
"Ah, Kak Lintang pergi-pergi mulu... belajar aja di rumah. Biar cumlaude kayak Kak Yudhis tuh..." sambar Galuh, si bungsu sambil cengar-cengir.
Lintang hanya diam. Ya, dia memang berbeda dari Kak Yudhis, yang kuliah arsitek dan selalu menjadi mahasiswa teladan. Bahkan, si bungsu, Galuh yang centil itu pun, sudah punya banyak piala atas prestasinya di setiap perlombaan karya ilmiah yang ia ikuti sejak duduk di bangku SMP.
Lintang tersenyum, "Nanti, kamu pun akan mengerti dengan sesuatu yang menjadi pilihanku, Galuh sayang," seraya mengedipkan mata pada adik tersayangnya itu.
Lintang sudah berada di dalam kereta, yang siap mengantarnya menuju Jogja. Kembali dilihatnya list tulisan tentang bangunan sejarah yang harus ia persiapkan. Ya, untuk naskah sebuah buku. Sebuah buku yang entah kapan mampu ia tunjukkan kepada dunia. Lintang hanya berusaha untuk melangkah, pada tujuan yang sudah menjadi impiannya. Ya, seperti kereta yang berjalan tepat di atas rel. Kali ini, Lintang telah memilih rel-nya sendiri, menuju ke tempat yang ia impikan.
Jogja, sebuah tempat yang sedang menarik perhatiannya. Kota tua yang masih kental dengan sejarah dan budaya, mungkin karena kota itu dekat dengan kesultanan. Tapi suasana disanalah yang ia suka, cukup mendukungnya untuk fokus dengan apa yang dia kerjakan sekarang, menulis naskah bukunya. Ia harap bisa juga ia temukan inspirasi baru di sana.
Di dalam kereta, ia duduk di samping seorang pemuda dengan ransel besar dan beberapa peralatan kamera. Diliriknya sebentar. Lintang kembali menatap keluar jendela, sambil membayangkan, betapa menyenangkannya Jogja, dan museum itu, Vredeburg.
"Hai, mau ke Jogja?" sapa pemuda itu tiba-tiba. Sedikit mengejutkan Lintang.
"Eh, Iya, kamu?" jawab Lintang cepat, seraya balik bertanya.
"Aku juga. Aku mau hunting foto untuk buku travel tentang Jogja." jawab pemuda itu dengan santai.
"Oh ya? Menarik sekali!" ujar Lintang bersemangat.
"Ehh... anyway, maaf saya lupa memperkenalkan diri, nama saya Bram, kamu?"
"Lintang."
Sepanjang perjalanan, di dalam kereta menuju Jogja, Lintang dan Bram cukup asyik mengobrol dan menceritakan tempat-tempat menarik yang layak dikunjungi di Jogja. Bahkan Bram pun menawarkan untuk mengajak Lintang ikut serta dalam perburuan fotonya.
"Hah, harus berangkat jam lima pagi ke candi-candi itu?" tanya Lintang terkejut mendengar penjelasan Bram.
"Iya, kalau siang kan ramai banyak pengunjung dan pemotretan outdoor harus dilakukan sebelum pukul sepuluh pagi, saat matahari belum berada di tepat di atas kita," lanjut Bram mantap.
Ah, sampai juga di Jogja. Pemandangan khas menghampar di hadapan Lintang dan Bram, di depan stasiun banyak sekali bapak tukang becak dan sado menawarkan jasanya. Di pinggiran kereta juga banyak sekali nenek berbalut kain kebaya menjajakan salak pondoh. Pelan, Lintang menghirup hawa Jogja, yang punya rasa berbeda.
Menyenangkan. Kadang memang harus berani memilih, untuk mewujudkan impian. Menyusun langkah, meniti jembatan, hingga sampai dalam suatu tujuan.
"Kenapa kamu pergi sendirian Lintang?" tanya Bram.
"Ya, emang mau sama siapa, nggak banyak orang yang mendukung keinginanku ini," jawab Lintang seraya melepas syal dari lehernya.
"Hmm bagus lah... kamu punya tekad yang cukup besar untuk impianmu," sambut Bram seraya menepuk bahu Lintang.
"Ya, bahkan Papa pun memandang sebelah mata padaku. Karena yang diinginkan papa adalah aku sebrilian kakak dan adikku. Bukan malah mengejar sesuatu yang menurutnya nggak jelas," sambung Lintang sambil tetap tersenyum.
"Lalu?" kejar Bram.
"Tapi aku yakin, aku akan bisa mewujudkan impianku, meski harus menempuh jalan yang berbeda," jawab Lintang mantap.
Mereka pun berpisah, untuk bertemu kembali di Vredeburg. Mereka akan melanjutkan petualangan di Jogja. Termasuk mengunjungi candi-candi yang bisa melengkapi naskah tulisan Lintang. Lintang harap ini bisa membantunya mengeja langkah menuju impiannya.
Tulisan kolaborasi @wulanparker dan @Victoriadoumana
No comments:
Post a Comment