Mengapa tak sanggup ku melawan kata-kata yang menghujaniku. Tak dapat ku membalasnya. Hanya menorehkan guratan di hatiku.
”Jelek!”
Kumenundukkan kepalaku, seperti kura-kura menyembunyikan kepalanya.
”Bodoh kamu, ini hanya tempat orang-orang Cakap bukan orang sepertimu!”
Kumenyingkir tanpa berpaling.
Ku tak ingin kembali ke tempat itu, aku ingin diam di kamarku yang damai. Dimana kudapati ketenangan dan diriku seorang.
”Mengapa anak itu bolos sekolah lagi!” Ayah berteriak memarahi ibuku.
”Sudahlah Pak, ia ingin menyendiri dulu!” Bela ibu.
”Kamu selalu memanjakannya! Jangan dibiarkan seperti itu!”
Habis itu ayah berlari ke kamarku, dengan sabuk di tangannya.
Cukup hatiku saja yang tersakiti, aku tak ingin ragaku merasakan hal yang sama. Demi menghindari sabuk itu, aku bergegas melangkahkan kaki ke luar rumah menuju sebuah tempat yang berlabel institusi pendidikan, namun bagiku itu tak lebih baik dari neraka.
Terlambat ke sekolah menyebabkan diriku semakin terpojok. Terhukum berdiri di depan pintu kelas, tingkat sekolah menengah pertamaku.
”Hahaha, si Jelek di setrap! Makin jelek aja!”
“Emang nasib orang jelek nggak pernah bagus!”
”Orang tua kamu ngidam apa, sampai kamu kayak gini!”
Caci maki, tertawaan mengejek bertubi-tubi dilimpahkan kepadaku. Mungkin lebih baik aku menerima sakit dari pecutan sabuk ayah daripada pecutan makian kata-kata yang menorehkan bekas yang dalam di hatiku.
Rasa-rasanya ingin kusumpal mulut mereka dengan kaos kaki atau kulempari mereka dengan sepatuku, namun aku hanya bisa terdiam, mendengarkan mereka berceloteh, mengumpat seolah-olah aku makhluk menjijikan yang tidak pantas ada di muka bumi ini.
Sekali lagi aku menderita sakit yang berkepanjangan di hatiku.
Tapi aku tak pernah memiliki setitik keberanian sedikit pun, aku hanya
diam membisu walau hatiku berontak tersakiti.
Sampai kapan aku bisa bertahan, tekanan dari luar mendesakku begitu
dashyat. Ingin aku meremas, membakar mulut mereka tapi ku tak kuasa.
Putus asa.
diam membisu walau hatiku berontak tersakiti.
Sampai kapan aku bisa bertahan, tekanan dari luar mendesakku begitu
dashyat. Ingin aku meremas, membakar mulut mereka tapi ku tak kuasa.
Putus asa.
Setiap hari berulang kejadian dan perkataan ”Jelek!” berulang-ulang kudengar sampai menusuk hatiku. bahkan lebih sakit dari luka bakar yang pernah kuderita.
Hanya Ibuku yang masih memberikan semangat, tetapi tak sanggup menyembuhkan sakit di hatiku. Bahkan diriku pun ikut membencinya.
Jika ku bercermin, “Jelek” itu juga yang kulihat, Seperti menyetujui perkataan bertubi-tubi yang selalu kuterima, kata itu sudah merasuki jiwaku dan membuatku bertambah benci.
Aku tak kuasa membenci diriku sendiri.
Ku mencari lantai tertinggi yang bisa kujangkau dan menempatkan diriku disana, ku tak lagi mendengar kata-kata itu, aku merasa damai. Kulihat rerumputan hijau menghampar di bawah seperti kasur lembut yang lebar dan ku melompat kesana.
Tak lagi kudengar kata-kata itu, tak lagi kugunakan tubuh yang menyakitkan itu. Aku bebas, tapi tak terbebas dari pengadilan Tuhan karena kebencianku.
Ps: a knife wound heals; a wound caused by words does not
No comments:
Post a Comment