Rara terbaring lemas setelah seharian menjalani operasi pengangkatan rahim akibat kanker yang dideritanya.
"Rin, maukah kamu menolong aku?" Rajuk Rara kepada Sahabatnya.
"Tentu saja, ada apa sih?" Irini mendekatkan dirinya.
"Kamu kan tahu, suamiku sangat menginginkan seorang anak, karena
operasi ini aku tak mungkin lagi mengandung." Lirih Rara.
"Jadi apa yang bisa kubantu Ra?"
"Aku berfikir untuk memiliki anak lewat proses bayi tabung, maukah kamu mengandung anakku?" Pinta Rara dengan memelas.
Demi sahabatnya itu Irini meluluskan permintaannya.
"Akan kulakukan apa saja untuk membuatmu bahagia! Jangan khawatir, istirahatlah."
Beberapa bulan kemudian, tugas menjadi seorang ibu dilakukannya, setelah menjalani check up dan keperluan lainnya Irini melakukan proses inseminasi buatan yang dilakukan oleh dokter dan sukses.
***
Rara menyarankan Irini untuk pindah ke apartemen di sebelahnya agar lebih mudah menjenguk sahabatnya itu, karena Irini tinggal sendiri dan tidak memiliki sanak saudara. Irini pun menyanggupinya.
"O iya Rin, minggu besok jadwal check up ke dokter lagi kan?" tanya Rara, "tapi maaf, kayaknya aku nggak bisa anter, ada acara di kantor"
"Ya, sudah nggak apa-apa Ra, aku bisa berangkat sendiri kok" jawab Irini
" Gimana kalau aku aja yang anter?" tiba-tiba Garnito menyambung pembicaraan
"Benar, kamu bisa Sayang?"
Garnito mengangguk, tanda menyanggupi.
***
"Maaf ya Rin, aku baru sempat nganter kamu, rasa-rasanya aku seperti tidak tahu berterima kasih sama kamu." Garnito membuka percakapan selama perjalanan menuju rumah sakit.
"Sudah lah Tok, aku mengerti kesibukanmu"
"Ngomong-ngomong sudah masuk bulan ke lima ya? Wah nggak terasa, cepat juga"
Irini mengangguk dan tersenyum.
***
***
"Maaf ya Rin, aku baru sempat nganter kamu, rasa-rasanya aku seperti tidak tahu berterima kasih sama kamu." Garnito membuka percakapan selama perjalanan menuju rumah sakit.
"Sudah lah Tok, aku mengerti kesibukanmu"
"Ngomong-ngomong sudah masuk bulan ke lima ya? Wah nggak terasa, cepat juga"
Irini mengangguk dan tersenyum.
***
Di ruang periksa, Irini berbaring setelah suster mengolesi gel di perutnya untuk pemeriksaan USG. Ketika pemeriksaan berlangsung, dokter menemukan kejanggalan di dalam kandungannya.
”Wah, sepertinya kita akan memperoleh bayi kembar nih Rin.”
”Yang benar Dok?” tanya Irini penasaran ingin melihat layar monitor.
”Tapi saya belum pasti juga Rin, bisa nggak kamu kembali ke sini 1 atau 2 hari lagi untuk menjalani beberapa test, semoga sih baik-baik saja.”
”Memangnya ada apa Dok?”
”Saya belum bisa memastikan, bisa yah? Lusa?” tanya dokter.
”Baiklah, jam yang sama yah Dok? Bayinya sudah ketahuan belum laki-laki atau perempuan?” Tanya Irini.
”Bayi kamu perempuan, tetapi yang satu lagi saya belum pasti.”
"Ra, anak kamu perempuan dan mungkin kembar" sebaris pesan singkat masuk ke handphone Rara. Bahagia sekali Rara membaca berita itu lalu bergegas pulang sambil membawakan makanan kesukaan Irini.
"Selamat ya, Ra" sebuah pelukan hangat melayang dari Irini.
"Terima kasih Rin, terima kasih, mau mengandung anak kami" ucap Rara bahagia, sambil menyeka tetesan air matanya dan memeluk Garnito.
"Jadi apa kata dokter tadi, Rin?" lanjut Rara penasaran.
"Iya, tadi kata dokter kemungkinan anak kamu kembar Ra, tapi aku diwajibkan menjalankan beberapa tes untuk memastikannya, besok lusa harus balik lagi"
"Lusa besok, aku yang akan mengantar kamu Rin, kita cari tahu sama-sama" Ucap Rara sangat bersemangat.
***
"Ibu Irini, silahkan masuk" Ucap seorang suster memanggil nama Irini masuk.
" Silahkan duduk ibu Irini,"
"Jadi bagaimana Dok, saya mempunyai anak kembar kan Dok?" tanya Irini bersemangat.
"Kembarannya juga perempuan kan Dok?" Sahut Rara, tak kalah bersemangat. Kedua sahabat itu saling melempar senyum.
Ada jeda lama diantara mereka bertiga. sang dokter tak mampu tersenyum. Rara menyadari ada yang tidak beres.
"Nggak ada masalah kan Dok dengan bayi kami." ujar Rara memecah kebisuan.
Irini memegang erat tangan sahabatnya.
”Saya belum bisa memastikan secara pasti, tetapi setelah saya amati lagi di USG terakhir, ada kemungkinan janin satunya lagi adalah sebuah tumor, sehingga Irini diharuskan untuk menjalani beberapa tes lanjutan untuk memastikan.” Ujar Dokter berusaha menenangkan.
Keduanya saling berpandangan dan Irini pun menjalani test itu seharian ditemani Rara. Selesai tes keduanya pulang ke apartemen karena Irini merasa lelah.
Esoknya ponsel Irini berbunyi, Dokter menghubunginya langsung dan menjelaskan bahwa janin kedua yang ada di dalam rahimnya adalah tumor ganas. Jika dibiarkan tumbuh akan mengancam nyawanya, ia harus memutuskannya sendiri. Ia juga meminta agar dokter merahasiakannya dari Rara.
Janin di dalam rahim menumbuhkan naluri keibuannya, ia pun tak rela jika harus mengorbankan janin ini untuk keselamatan dirinya. Akhirnya ia pergi menemui dokter seorang diri keesokkan harinya.
”Dok, tidak ada alternatif lain untuk membuang tumor ini tanpa membunuh sang bayi?”
”Rin, kamu akan tersiksa membiarkan tumor ini tumbuh demi menunggu bayi ini cukup besar untuk dilahirkan. Kita harus menunggu 3-4 bulan lagi, kamu tidak mungkin meminum obat apapun jika ingin bayi ini selamat.” Jelas Dokter.
”Dok, aku terima resikonya, yang penting bayi ini lahir dengan selamat, saya mohon juga jangan beritahu Rara dan Garnito tentang hal ini.”
”Baiklah jika itu keinginanmu, tapi kamu harus rajin-rajin check up demi memantau kondisimu.”
Irini tak pernah memberitahukan kepada sahabatnya itu.
Bulan demi bulan dilaluinya.
Setiap tendangan lembut yang dilakukan bayinya, bagaikan ditusuk pisau beraliran listrik yang mengalir ke seluruh tubuhnya, sakitnya luar biasa dan ia tak bisa meminum obat penahan sakit.
”Kenapa Rin?” Tanya Rara.
”Si kecil menendang.” Ringis Irini sambil tersenyum.
”Ah, yah? Boleh aku merasakannya?”
”Tentu.”
Kondisi Irini semakin parah, tetapi ia tetap menyuap makanannya walaupun ia tidak bernafsu, demi bayi yang dikandungnya.
Memasuki bulan ke sembilan, Irini tak sanggup lagi menahan sakit dan ia jatuh pingsan, Rara menemukannya, dengan dibantu Garnito mereka langsung membawanya ke rumah sakit.
Dokter langsung melakukan operasi caesar demi mengeluarkan bayi itu.
Bayi itu selamat ... tetapi Irini tidak.
Seketika itu Rara langsung lemas dan pingsan di pelukan Garnito mendengar pemberitahuan dokter.
”Ra, maafkan aku karena tidak menceritakan tentang tumor di rahimku ini. Aku juga tak ingin mengecewakanmu karena telah jatuh cinta kepada bayi ini, aku tak akan rela memberikan bayi ini untukmu jika aku hidup. Karena aku ibunya, aku memutuskan dia untuk hidup. Kuyakin, jika kuceritakan tentang hal ini sejak awal kamu akan menyuruhku menggugurkannya. Tolong rawatlah ia dengan baik, aku yakin kalian akan menjadi orangtua terbaik untuknya.” Irini memeluk dan mencium kening Rara dan pergi menghilang.
”Irini...jangan tinggalkan aku!” Teriak Rara.
”Ra, sadar Ra...!” Ujar Garnito berusaha membangunkan Rara.
Rara terbangun menangis dan memeluk Garnito. Tak lama dokter membawa mereka menuju ruang inkubator tempat bayi itu dirawat. Dari balik kaca mereka melihat bayi mungil yang masih terpejam seolah tersenyum kearah mereka.
No comments:
Post a Comment