Friday, February 24, 2012

NOMADEN #20HariNulisDuet Day 14 bareng @milliyya


Kukemasi barang-barangku sekali lagi, aku harus pindah LAGI!
Hidupku bagaikan komedi putar tak pernah berhenti berputar untuk menetap. Tak bisa kusalahkan Tuhan karena harus begini. Hanya saja terkadang aku lelah. Harus berulang-ulang mengakhiri hubungan dengan laki-laki yang mencintaiku, karena selalu mencintai laki-laki di luar kaumku. Kami adalah GYPSY.

Namaku Simza, yang berarti suka cita. Mungkin karena nama itu aku pun bisa mensyukuri hidup berputar di dalam kotak trailer.

Bisnis kami adalah membuat Pasar Malam yang didalamnya ada komedi putar, beserta mainan dan atraksi lain untuk bersenang-senang.

Sebenarnya aku bisa menemukan kebahagianku ketika berputar diatas kuda-kuda komedi putar, hanya saja semakin ku tumbuh besar semakin tidak memungkinkan untuk menungganginya.

Pekerjaanku sebenarnya agaklah sulit hanya seringkali aku memperoleh bersitan mimpi dan bayangan akan masa depan seseorang, tetapi sampai saat ini aku belum pernah bisa membayangkan masa depanku.

Terkadang aku menggunakan tarot, kartu yang membantuku mengungkap peristiwa yang telah dan akan terjadi pada diri seseorang.

Wajahku agak lain dari Gypsy pada umumnya, mataku berwarna biru dan rambutku pirang, konon kudengar ayahku bukanlah Gypsy ia adalah seorang dari bangsa Yunani. Orang tua ayahku tak mengijinkannya menikahi ibuku, sehingga ibuku menikah dengan Boldo, ayah angkatku. Aku ingin suatu saat bisa bertemu dengannya.

Kali ini kami kembali membuka pasar malam di dataran Yunani, tepatnya di Kalambaka setelah mengelilingi Eropa. Daerah ini terkenal dengan bukit bebatuan yang dinamakan Meteora. Disana banyak sekali monasteri yang berusia ratusan tahun.

Ketika membuka tarotku, tiba-tiba muncul sebersit bayangan yang wajahnya menentramkan tidak seperti Boldo, ia lain. Tapi aku tak bisa membacanya, seperti tertutup kain hitam yang tebal dan tak bisa kutembus. Aku penasaran dibuatnya tetapi tetap saja aku tak bisa menembusnya.

”Hai, ada apa? Mengapa wajahmu seperti melihat hantu?” Sapa Stevo memasuki tenda ramalanku.

Stevo adalah bagian dari kami, anak teman Boldo. Ia selalu memperhatikanku tetapi aku hanya menganggapnya teman walaupun ia pernah mengatakan suka padaku.

“Tidak, tidak, kenapa-kenapa.” Jawabku sambil tersenyum.

”Baiklah, bersiaplah! Kita akan mulai membuka pasar malam ini, dandan yang cantik!”

Ku jawab dengan kedipan di mata.
Stevo keluar keluar dari tenda, ia menyingkap tirai dengan sebelah tangan kanannya. Topi koboinya sedikit terusik dan hampir jatuh jika ia tidak menahannya dengan seketika. Beberapa detik kemudian Stevo, punggungnya tidak terlihat lagi dan tirai tenda yang berwarna merah marun gelap sudah kembali seperti semula; menutup ruangan.
Aku menarik nafas pelan-pelan, kehadiran Stevo, membuatku sedikit kaget setelah melihat gambar-gambar pada kartuku. Aku melihat kembali tarot dan sejenak berkonsentrasi dengan pesan yang disampaikan. Aku tidak melihat apapun, tidak! Bayanganku masih tetap gelap dan tak ada petanda.
Keringat kecil membasahi keningku, aku merasa cemas dan penasaran dengan ramalanku sendiri. Pandanganku terhalang kabut yang entah kenapa begitu tebal.


“Simza, kau sudah bersiap?” teriak Stevo, dari luar.


“Ya, sebentar!”


Dasar kartu sialan! Bentakku, pada diri sendiri. Aku bersiap dengan segala sesuatu yang harus di selesaikan, sudah waktunya aku bekerja.


Beberapa orang memasuki tendaku, malam ini cukup ramai rupanya. Untungnya tarot dan ramalanku lancar hingga kemunculan tamu terakhir, sosoknya seperti wajah lelaki yang pernah melintasi pikiranku.


Aku tak bisa membuka tabir atau melihat apapun dalam tarot maupun pikiranku seperti tertutup kain tebal lagi yang tak bisa kutembus.


”Hai, apa yang kau dapati di dalam kartu-kartu mu tentang diriku?” Tanya lelaki itu sopan.
Ia terlihat dewasa, sosok yang ternyata cukup menarik perhatianku. Ahh, aku jatuh hati lagi.

“Maaf, aku tak bisa membaca tarot untukmu. Tak perlu bayar, ada sesuatu yang menutupi dirimu yang tak bisa kutembus.” Ujarku menjelaskan, ketika ia menyodorkan uang.


”Tak mengapa, terimalah! Kau berhak mendapatkannya, mungkin besok aku akan kembali lagi.”


“Baiklah, terima kasih! Boleh kutahu namamu?”

“Giorgos.”

Namanya seperti tak asing kudengar. Dan, perasaanku merasakan sesuatu hal yang lain. Yang lain dari biasanya, perasaan yang tidak kumengerti. Seperti timbunan tanah yang terbongkar, dan menemukan sesuatu disana. Aku seperti pernah mengenal lelaki itu, jauh sebelum hari ini.


Aku terhenyak dari lamunanku, laki-laki itu telah menghilang dibalik tirai. Ketika aku mengintip sisa sosoknya dibalik jendela bayangannya tak bisa kutangkap, namun decak suaranya masih terngiang ditelingaku ketika ia menyebutkan namanya, “Giorgos.”


Dan sepucuk perasaan merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku melihat kabut dalam kartu tarotku dan dalam kartunya. Barangkali ini yang disebut kebetulan; sesuatu yang kita alami dan tidak direncanakan.
Ia kembali datang keesokkan harinya, walaupun aku masih tidak bisa membacakan ramalan untuknya.


”Hai, bagaimana kabarmu? Sudah bisa membaca ramalan untukku?” Begitu ia menyingkap tirai tendaku.


“Maaf, aku tak mengerti mengapa ini bisa terjadi padaku. Tak ada petunjuk apa pun tentang dirimu di tarotku.” Jelasku.

“Tak mengapa, aku hanya ingin bertemu denganmu.”

Sejenak kutertegun dengan kalimat barusan, tetapi entah mengapa aku membiarkan diriku hanyut bersamanya. Berjalan keliling bersamanya menghabiskan malam di area pasar malam.

Aku merasakan bahagia lagi. Jatuh cinta lagi! Walaupun aku tahu akan berujung pada kepedihan, tetapi kubiarkan juga larut pada kata yang bernama cinta.

Terlalu banyak pepatah yang mengatakan bahwa cinta adalah permainan yang berbahaya. Bola api yang kian lama akan membesar dan dengan mudahnya akan membakar diri kita sendiri. Tapi, ketahuilah jatuh cinta itu mengasyikan, apalagi jika kamu telah merasakan kepedihan karenanya. Semakin kamu merasakan sakit yang disebab cinta maka disanalah cinta akan begitu mencandu dan menggiurkan untuk diresapi.

 “Giorgos.” Panggilku lembut.

 “Ya”, dia membalas dengan suara yang halus.

Ditengah ramainya pasar malam dan kerlap-kerlip lampu-lampu permainan, aku merasakan keakraban yang misterius dengannya. Seperti kekasih lama yang kembali.

 “Apa yang kau rasakan malam ini?” tanyaku.

Giorgos, terdiam. Senyumnya melingkar dengan manis, matanya menatapku dengan penuh perasaan. Disela-sela keributan pengunjung mungkin tidak ada yang memperhatikan keadaan kami. Kami mengelilingi tenda-tenda dan bermacam-macam permainan. Ia banyak bercerita tentang banyak hal, tentang Flo; burungnya yang hilang didalam sangkar. Tentang Fli; ikan kesayangannya yang malang-karena ditemukan mati kelaparan...

 Giorgos, seperti pencerita ulung dan aku, bocah yang merindukan kasih sayang seorang ayah. Ia menggenggam jemariku dan menempelkan didadanya. kurasakan debaran jantung yang kencang didadanya sama seperti yang sedang kurasakan.

 “Bagaimana kalau kita kembali?” Pintanya tiba-tiba. Aku menurutinya.

Sekembalinya di depan tenda, ketika ia tengah menciumku. Aku terhenyak oleh seruan ibuku, ”Giorgossss, hentikan!”


”Drinda?” Giorgos terkejut.


”Ibu, kenal Giorgos?”


”Ia adalah ayahmu!”

Kembali kepedihanku berulang, kukemasi barang-barangku lagi untuk pindah dan berputar tanpa menetap. 

No comments:

Post a Comment